Breaking News

Nasib Tragis Ratusan WNI yang Ditahan Malaysia



RATUSAN Buruh Migran Indonesia (BMI) yang mencari sesuap nasi di Malaysia, terpaksa merasakan bilik tahanan negara tetangga itu. Berbulan-bulan mereka ditahan. Namun, mereka tetap menjalankan ibadah puasa.

SEJAK bulan Ramadan, Pemerintah Malaysia telah melakukan deportasi sebanyak dua kali. Pemulangan pertama yang dilakukan di awal Ramadan sebanyak 114 BMI ilegal. Gelombang dua dilakukan  pada pekan lalu  sebanyak 109 BMI harus diusir dari Malaysia menuju Pelabuhan Tunon Taka Nunukan.
Di balik pemulangan para deportan ini, banyak kisah yang dialami selama di tahanan. Hidup dipenjara ketika berpuasa tentu sangat berbeda dengan hidup bebas di Indonesia.
Cerita di balik jeruji besi ketika di Malaysia diceritakan Noraisyah kepada pewarta Radar Tarakan (Jawa Pos Group). Ditahan sejak akhir 2015 lalu hidup di penjara tentu tidak teratur terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Makan yang terkadang diberikan dan terkadang tidak, membuat Noraisyah bersama ratusan tahanan lainnya tersiksa.
Perempuan kelahiran Tawau ini ditangkap di Papar Kota Kinabalu pada saat sedang asyik tidur dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika polisi Malaysia menyerbu tempat tinggalnya. Selama di penjara ia pun mengalami gangguan berupa penyakit gatal-gatal karena air yang digunakan kurang bersih.
“Sangat sengsara hidup di tahanan, hari-hari biasa saja sangat tersiksa apa lagi di saat Ramadan,” kata Noraisyah.
Ketika Ramadan, di Pusat Tahanan Sementara (PTS) Papar itu, penjaga PTS mempersilakan semua umat muslim melaksanakan ibadah puasa ketika tak memiliki halangan seperti perempuan. Puasa pertama dilalui Nora - sapaan akrabnya- dengan disajikan makanan yang tak layak konsumsi alias basi.
Ketika berbuka puasa tiba, makanan yang sama turut disajikan pihak PTS dengan nasi ditambah lauk yang siapa saja melihatnya akan kehilangan nafsu makan. Nasi basi terkadang terpaksa dimakan perempuan asal Bulukumba ini agar perut tetap terisi.
Cerita makan nasi basi di PTS turut dibenarkan teman Nora, Hayati, yang turut menjalani masa tahanan selama tujuh bulan di PTS Papar. Hayati yang memiliki anak tentu tak rela ketika anaknya terlihat tersiksa di tahanan.
“Saya ditahan bersama anak, karena tidak sempat lari harus pasrah saja ditangkap polis (Polisi, Red.) Malaysia,” ujar Hayati.
Makan dan tidur tidak pernah teratur. Selain makanannya yang asal-asalan disajikan, tempat tahanan tidak nyaman ditempati. Diserang penyakit gatal-gatal pun seakan sudah biasa.
Makan nasi basi dan lauk yang terkadang tidak masak sudah tidak ingin dirasakan Nora dan Hayati, sahur dan berbuka puasa dengan makanan basi cukup sekali dirasakan. Setelah ini deportan berjanji tak ingin lagi kembali ke Malaysia.
“Setelah ini lebih baik tinggal di Indonesia,” kata perempuan asal Sulawesi Selatan ini mengakhiri. (JPG/van)

sumber : malang-post.com

Tidak ada komentar