Guru Besar Anggap Anggota DPR Tak Paham Penggunaan Hak Angket
Ilustrasi
TRIBUNWOW.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mempertanyakan hak angket yang dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menganggap para anggota DPR tak paham soal penggunaan hak angket.
"Apakah paham anggota DPR yang inginkan penggunaan hak angket ini?" kata Asep saat dihubungi, Sabtu (29/4/2017).
Asep menilai, DPR telah melakukan penyalahgunaan instrumen kenegaraan.
Sebab, hak angket tidak ditujukan untuk menyelediki proses penegakan hukum.
Hakim Ketua saat sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017). KPK menduga ada perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek KTP elektronik dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,3 Triliun. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULU)
Dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Jelas itu definisi hak angket. Nah, ketika ini digunakan hanya untuk sekedar meminta penjelasan terhadap penegakan hukum, maka tidak sesuai dengan kualifikasi penggunaan hak angket dalam UU MD3," ucap Asep.
Hal senada disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Ia mengatakan, KPK adalah lembaga nonpemerintah yang tidak bisa ditujukan hak angket.
"Menurut Penjelasan Pasal79 ayat (3) MD yg bs diangket oleh DPR adalah Pemerintah & lembaga pemerintah nonkementerian. KPK bukan Pemerintah," kata Mahfud dalam akun twitternya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti hak angket yang diajukan DPR.
Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.
"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat dikonfirmasi, Jumat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (TRIBUNNEWS/HERUDIN)
Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi proyek e-KTP.
"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
DPR kemudian menyetujui penggunaan hak angket tersebut.
Tidak ada komentar